Duka dan Asa Orang Bangkal Dibalik Nobar Film “My Chocolate Is Killing People”

Screenshot 20241202 211349
Foto: Direktur Eksekutif TuK Indonesia, Linda Rosalina (kiri) dan Warga Desa Bangkal, Mariani (kanan)

SUARABACA.COM, Seruyan—Sebagai bagian dari kampanye berkelanjutan terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), perusakan alam, hingga peran perbankan dalam mendanai investasi hitam, sejumlah kolektif di Kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah (Kalteng) menggelar acara nonton bareng (nobar) film dokumenter My Chocolate Is Killing People pada Sabtu (30/24) malam.

Pada acara yang digelar di Kopi Oase tersebut, turut hadir berbagai individu, kolektif, dan lembaga dari Pangkalan Bun hingga Palangka Raya pemerhati lingkungan di Kalimantan Tengah. Juga turut hadir warga Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan yang menjadi korban dalam ‘Tragedi Bangkal Berdarah’ pada 07 Oktober 2024 lalu.

Koordinator nobar, Aji Putra Aditya mengatakan, acara itu bertujuan untuk mengkampanyekan kondisi di Kalimantan Tengah saat ini, terkhusus di dekat kita. Juga tentang bagaimana perusakan alam yang dilakukan secara terstruktur dan terorganisir. Selain itu, mendukung perjuangan masyarakat adat Desa Bangkal yang saat ini masih berjuang.

“Ya, tujuan nobar film My Chocolate Is Killing People ini tidak lain untuk mengkampanyekan kondisi alam di tempat kita, di dekat kita. Kita lihat secara seksama, melalui film itu bagaimana perusakan alam yang terjadi dilakukan secara terstruktur dan terorganisir. Terima kasih kepada Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia yang sudah mendukung acara ini,” katanya, Senin (02/24).

Semua individu maupun lembaga, tambah Aji, seyogyanya terlibat dalam kerja-kerja itu agar terbentuk jaringan yang lebih luas lagi dan lebih banyak lagi orang yang mendukung perjuangan ini.

Film My Chocolate Is Killing People yang dibuat oleh TuK Indonesia berkolaborasi dengan INFIS (Rekam Nusantara) mencoba mengungkap pihak-pihak yang terlibat dalam perusakan alam di Desa Bangkal hingga Dusun Entapang, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat seperti kekerasan aparat kepolisian dan keterlibatan Bank Negara Indonesia (BNI) dalam pendanaan investasi yang menyebabkan pelanggaran HAM dan massifnya deforestasi.

Direktur Eksekutif TuK Indonesia, Linda Rosalina dalam film tersebut mengungkapkan, upaya TuK Indonesia mencoba mengungkap dalang dari pelanggaran HAM dan deforestasi yang dilakukan PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) I, anak usaha Best Group International yang dipimpin oleh Winarno Tjajadi.

“Kita bisa lihat bahwa saham terbesar keempat Bank BNI dimiliki oleh Winarno Tjajadi. Dan, kami mengakui, saat mencoba mencari keterlibatan secara langsung bank itu dalam pendanaan PT HMBP I, kami tidak menemukannya, karena PT HMBP merupakan perusahaan yang tertutup,” ungkapnya.

Linda juga menyoroti kinerja Rountable on Sustainable Palm Oile (RSPO) yang secara serampangan memberikan sertifikasi kepada PT HMBP I, dimana hal itu menunjukan bahwa RSPO secara simbolis ikut andil dalam pelanggaran HAM yang dilakukan perusahaan perkebunan sawit yag memakan korban jiwa itu.

Selain itu, dirinya berharap, kepada seluruh masyarakat Indonesia yang menjadi nasabah bank-bank yang mendanai invetasi hitam seperti perkebunan sawit untuk dapat menyuarakan agar bank-bank itu berhenti melakukan pendanaan.

Pada kesempatan yang sama warga Desa Bangkal, Mariani menengarai, bahwasanya pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Seruyan dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalteng sama sekali tidak memihak kepada warga. Hal itu, menurutnya, dapat dilihat dari penyelesaian konflik yang tidak transparan.

“Koperasi itu memang dibuat, tetapi kami tidak tahu lokasinya. Apakah di dalam Hak Guna Usaha (HGU) atau di luar atau di mana. Kami tidak tahu. Dan, sampai saat ini, kami menolak untuk menerima uang yang dikeluarkan oleh koperasi itu, karena banyak hal yang janggal,” tengarai Mariani.

PT HMBP I, tambah Mariani, menggunakan aparat kepolisian dan pemerintah untuk mengintimidasi warga secara terus menerus. Bahkan, saat memperingati setahun meninggalnya Gijik, pihak kepolisian melakukan pengawalan yang tidak elok dengan alasan ‘takut ditunggangi politik’.

“Nyawa kami hanya seharga tujuh (7) bulan penjara. Bayangkan, tujuh bulan penjara. Saat mengenang setahun Tragedi Bangkal Berdarah pun, kami dikawal seperti gerombolan teroris saat berziarah ke makam saudara kami, Gijik. Akan tetapi, kami tidak akan berduka lebih lama. Kami akan terus berjuang merebut hak kami yang telah lama dirampas oleh PT HMBP I,” pungkasnya.[Ys]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *